Thursday, October 28, 2010

Must Read :)

Sayang kalau kiriman artikel berikut ini dilewatkan begitu saja. Selamat membacanya.

**********
LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah
tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah
diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal
dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa. Karangan yang dia
tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya
mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk,
logikanya sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanya karangan
itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk,
malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan
memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai tinggi, saya
khawatir anak saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima
saya hanya bertanya singkat. "Maaf Bapak dari mana?" "Dari Indonesia," jawab
saya. Dia pun tersenyum.

Budaya Menghukum
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah
saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap
simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang
anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru sangat sulit
memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan
untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! " Dia pun melanjutkan
argumentasinya.

"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris,
saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya menunjuk karangan
berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi itu saya mendapat
pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut
ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang
nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di Indonesia, saya harus
menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji
yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya
dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap.
Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan
penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan
begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat
dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh
puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh
keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya
saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan"
mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan,
penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap
seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami
frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf,
menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan
encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan
rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang
tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di
Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu
menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel.

Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. "Janganlah
kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di
depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga teringat dengan rapor
anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya
tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk
bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah memulainya dengan berat, dia
mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang
berarti." Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup
keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi
penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna),
tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya melihatnya dengan kacamata
yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan
rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta
ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan
penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan
seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas...;
Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas
kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih
disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan
mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan
otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau
sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau
dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan
demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang
sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau
bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman
atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau
memberi ancaman yang menakut-nakuti. (*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI

No comments:

Post a Comment